Pages

Kamis, 27 November 2014

TOKOH-TOKOH FILSAFAT REALISME


  1. Aristoteles
Aristoteles lahir di Stageira pada Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. Dari kecil, Aristoteles mendapat asuhan dari ayahnya sendiri. Ia mendapat pelajaran dalam hal teknik membedah. Oleh karena itu, perhatiannya banyaj tertumpah pada ilmu-ilmu alam, terutama ilmu biologi.
Dengan kecerdasannya yang luar biasa, ia menguasai berbagai ilmu yang berkembang pada masanya. Tatkala ia berumur 18 tahun, ia dikirim di Athena ke akademia Plato. Di kota itu, ia belajar pada Plato. Kecenderungan berfikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Pandangan filsafat Aristoteles berorientasi pada hal-hal yang konkret.
Aristoteles memang filosof luar biasa. Didikan yang diperolehnya pada waktu kecil, ketika ia mempelajari teknik pembedahan dalam dunia kedokteran dari ayahnya, memengaruhi pandangan ilmiah dan pandangan filosofinya. Pengalaman bukanlah pengetahuan yang berupa bayangan belaka. Menurut Aristoteles, alam idea bukan sekedar bayangan, seperti yang diajarkan oleh Plato. Ia mengakui bahwa hakikat segala sesuatu tidak terletak pada keadaan bendanya, melainkan pada pengertian keberadaannya, yakni pada idea. Akan tetapi, idea itu tidak terlepas sama sekali dari keadaan yang nyata. Aristoteles adalah murid Plato yang sangat kritis. Kepada gurunya, Plato, ia menunjukkan bahwa ia sangat mencintai kebenaran. Oleh karena itu, ia melakukan kritik yang tajam terhadap Plato yang berpandangan bahwa hakikat segala sesuatu adalah idea yang terlepas dari pengetahuan hasil indera. Selain idea hanya gambaran yang membatasi idea. Bagi Aristoteles, idea dan pandangan manusia merupakan sumber segala yang ada.
Pandangan Plato bagi Aristoteles merupakan filosofi tentang adanya yang ada dan adanya yang tidak ada. Aristoteles melengkapinya dengan pandangan bahwa manusia berpotensi mengembangkan idea dan pengembangan tersebut dipengaruhi oleh penglihatan, pengalaman, dan pengertian-pengertian, sehingga idea dan realitas segala yang ada menyatu dalam suat terminologi filosofis.
Pandangannya lebih realis daripada pandangan Plato, yang didasarkan pada yang abstrak. Ini akibat dari didikan pada waktu kecil, yang menghadapkannya senantiasa pada kenyataan. Ia terlebih dahulu memandang kepada yang konkret, yang nyata. Ia bermula dengan mengumpulkan fakta-fakta. Fakta-fakta itu disusunnya menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suat sistem. Kemudian, ditinjaunya persangkutpautan satu sama lain. Ia ingin menyelidiki sebab-sebab yang bekerja dalam keadaan yang nyata dan menjadi keterangannya. Pendapat ahli-ahli filosofi yang terdahulu dari dia diperhatikannya dengan kritis dan diperbandingkannya. Dan barulah dikemukakan pendaptnya sendiri dengan alasan dan pertimbangan rasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan, kalau Aristoteles mempelajari lebih dahulu ilmu terapan dan ilmu pasti, bahkan ia menguasai ilmu yang sifatnya khas bagi kaum ilmuwan spesialis. Baru setelah itu, ia meningkat ke bidang filsafat, untuk memperoleh kesimpulan tentang yang umum.
Menurut Aristoteles, realitas yang objektif tidak saj tertangkap dengan pengertian, tetapi juga bertepatan dengan dasar-dasar metafisika dan logika yang tertinggi. Dasar itu ada tiga, yaitu : Pertama, semua yang benar harus sesuai dengan adanya sendiri. Tidak mungkin ada kebenaran kalau di dalamnya ada pertentangan. Ini terkenal sebagai hukum identika; Kedua, dari dua pertanyaan tentang sesuatu,jika yang satu membenarkan dan yang lain menyalahkan, hanya satu yang benar. Ini disebut hukum penyangkalan (kontradikta). Inilah menurut Aristoteles yang terpenting dari segala prinsip; Ketiga, antara dua pernyataan yang bertentangan mengiyakan dan meniadakan, tidak mungkin ada pernyataan yang ketiga. Dasar ini disebut hukum penyingkiran yang ketiga.
Aristoteles berpendapat bahwa ketiga hukum itu tidak saja berlaku bagi jalan pikiran, tetapi juga seluruh alam takluk kepadanya. Ini menunjukkan bahwa dalam hal membanding dan menarik kesimpulan harus mengutamakan yang umum. 
  
   2. Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Menurut Bacon, ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian diperkuat oleh sentuhan inderawi.

  3.  John Locke (1632-1704 M)
Ia adalah filosof Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Filsafat Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan. Ia juga menolak metode deduktif Descarte dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau disebut dengan induksi. Locke termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui ajarannya. Bagi Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke, pengalaman ada dua, yaitu : pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah.
Ada dua hal dalam filsafat pengetahuan Locke yang mempunyai implikasi bagi perkembangan kebudayaan modern. Pertama, anggapan bahwa seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman. Kedua, bahwa apa yang kita ketahui melalui pengalaman itu bukanlah objek atau benda yang mau kita ketahui itu sendiri, melainkan hanya kesan-kesannya pada pancaindera kita.
Locke menolak bahwa manusia mempunyai pengetahuan apriori. Apa saja yang kita ketahui berasal dari pengalaman. Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala, melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yang kita lihat sebagai pohon. Dan kita mendengar reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala. Implikasinya suat penciutan kemungkinan manusia untuk memahami realitas objektif pada dirinya sendiri. Manusia seakan-akan sibuk dengan kesan-kesanya sendiri. Dengan demikian paham realitas objektif yang kita alami dan kita diami bersama, semakin menjadi tipis dan kurus.

DAFTAR PUSTAKA

Magnis, Franz., Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1992.
Suhendi, Hendi, Filsafat Umum dari Metologi Sampai Teofilosofi, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008. 

MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN


Oleh : Muhammad Abduh

Pembelajaran yang Menyenangkan
Istilah pembelajaran mengacu pada dua aktivitas yaitu mengajar dan belajar. Aktivitas mengajar berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh guru dan aktivitas belajar berkaitan dengan siswa. Hal ini seperti yang diungkap oleh Munib Chatib bahwa pembelajaran adalah proses transfer ilmu dua arah, antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Sementara Achjar Chalil mendefiniskan pembelajaran sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Arief.S Sadiman pembelajaran adalah proses penyampaian pesan dari sumber pesan ke penerima pesan melalui saluran atau media tertentu (Arief S. Sadiman, dkk., 1990, hlm. 11). Dari ketiga definisi tersebut dapat dipahami bahwa dalam pembelajaran memuat tiga unsur penting yaitu :
1. Proses yang direncanakan guru,
2. Sumber belajar,
3. dan siswa yang belajar.
Dalam konteks pembelajaran menyenangkan, siswa lebih diarahkan untuk memiliki motivasi tinggi dalam belajar dengan menciptakan situasi yang menyenangkan dan mengembirakan. Menurut Mulyasa, pembelajaran menyenangkan (joyfull instruction) merupakan suatu proses pembelajaran yang didalamnya terdapat suatu kohesi yang kuat antara guru dan siswa, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Pembelajaran menyenangkan adalah adanya pola hubungan baik antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran. Guru memosisikan diri sebagai mitra belajar siswa, bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan guru belajar dari siswanya. Dalam hal ini perlu diciptakan suasana yang demokratis dan tidak ada beban, baik guru maupun siswa dalam melakukan proses pembelajaran. (DR.Rusman, M.Pd, 2011, hlm.326). Pembelajaran dikatakan menyenangkan apabila di dalamnya terdapat suasana yang rileks, bebas dari tekanan, aman, menarik, bangkitnya minat belajar, adanya keterlibatan penuh, perhatian peserta didik tercurah, lingkungan belajar yang menarik, bersemangat, perasaan gembira, konsentrasi tinggi. Sementara sebaliknya pembelajaran menjadi tidak menyenangkan apabila suasana tertekan, perasaan terancam, perasaan menakutkan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat, malas/tidak berminat, jenuh/bosan, suasana pembelajaran monoton, pembelajaran tidak menarik siswa.(Dra. Indrawati, M.Pd dan Drs. Wawan Setiawan, 2009, hlm. 24).

Ciri-Ciri Guru Yang Berkesan Dan Bagaimana Konsep Kendiri Mereka

Oleh : Ramlan Nordin
A.    Ciri-ciri Guru Yang Berkesan
Mengikut Kim dan Kellough (1995) untuk menjadi seorang guru yang berkesan, seseorang itu mesti mahir di dalam membuat keputusan yang tepat pada sebarang keadaan. Keputusan yang tepat dapat dibuat sekiranya seseorang guru itu memiliki perkara-perkara berikut: (1) Akal budi (2) Kepintaran (3) Ilmu tentang kurikulum dan pedagogi (4) Kesanggupan untuk ditegur dan diperbetulkan kelemahannya dalam aspek pengajaran melalui refleksi diri supaya menjadi guru contoh. Di samping itu juga, seorang guru yang cekap seharusnya memiliki 21 sifat-sifat berikut:
1.      Guru memiliki ilmu tentang matapelajaran atau perkara yang di ajar. Ini bermakna seseorang guru itu perlu mengetahui tentang fakta, konsep, prinsip dan kemahiran yang berkaitan dengan perkara atau matapelajaran yang diajar.
2.      Guru masih aktif sebagai ahli profesional keguruan, membaca jurnal, berbincanga dengan rakan sekerja, sentiasa mempertingkatkan kemahiran di dalam metadologi dan pengetahuan tentang pelajar dan isi kandung matapelajaran yang diajar.
3.      Guru memahami proses pembelajaran. Sebagia guru, pelajar akan dipastikan faham tetang matapelajaran yang diajar, harapan guru terhadap pelajar dan prosedur bilik darjah. Pelajar juga akan terbabit secara aktif denga aktiviti pembelajaran dan guru memastikan pelajar dibimbing dan ditunjuk ajar dengan melakukan penilaian kefahaman.
4.      Guru berperanan sebagai ‘broker pendidikan’, mengetahui cara untuk mendapatkan maklumt tentang perkara yang diajar dan mengetahui sumber-sumber maklumat yang terbaik tentang maatapelajaran tersebut.
5.      Guru mesti menunjukkan contoh teladan yang baik supaya menjadi model atau ikutan pelajar.
6.      Guru mesti sanggup untuk berubah dan menerima perubahan.
7.      Guru mesti berlaku adil dna saksama terhadap pelajarnya tanpa mengambil kira soal jantina, bangsa, agama, kewargenegaraan, status sosial dan perkara-perkara lain.
8.      Guru mesti melakukan persediaan untuk memngajar sama ada menulis persediaan mengajar atau menyediakan bahan bantu mengajar untuk aktiviti pembelajaran.
9.       Guru mempunyai kemahiran komunikasi yang berkesan.
10.  Guru berperanan sebagia pembuat keputusan yang berkesan.
11.   Guru sentiasa mengambil berat tentang keselamatan dan kesihatan para pelajarnya.
12.   Guru mesti optimis terhadap pembelajaran setiap pelajar dan menyediakan persekitaran yang positif dan membina bagi aktiviti pembelajaran.
13.  Guru mesti yakin dengan kebolehan setiap orang pelajar.
14.  Guru mempunyai kemahiran untuk melakukan tugas-tugas penilaian terhadapa pembelajaran pelajar.
15.  Guru mempunyai kemahiran untuk bekerjasama dengan ibu bapa, rakan setugas, pihak pentddbir dan staf-staf lain di samping sentiasa mengamalkan etika profesionalisme perguruan.
16.  Guru sentiasa menunjukkan minat yang berterusan terhadap tanggungjawab profesionalisme perguruan.
17.  Guru menunjukkan minat yang meluas terhadap sebarang aktiviti yang ada kaitan dengan proses pembelajaran.
18.  Guru juga mesti pandai berjenaka tetapi tidak berlebihan supaya tidak menjatuhkan kewibawaannya sebagia seorang guru.
19.  Guru mesti mahir mengenalpasti pelajar yang memerlukan perhatian khusus dalam pembelajaran.
20.  Guru mesti menunjukkan kepada pelajar bagaimana matapelajaran yang dipelajari boleh digunakan di dalam aspek kehidupan seharian.
21.  Guru mesti seorang yang boleh dipercayai.