- Aristoteles
Aristoteles lahir di Stageira pada
Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di
Kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. Dari kecil, Aristoteles mendapat
asuhan dari ayahnya sendiri. Ia mendapat pelajaran dalam hal teknik membedah.
Oleh karena itu, perhatiannya banyaj tertumpah pada ilmu-ilmu alam, terutama
ilmu biologi.
Dengan kecerdasannya yang luar
biasa, ia menguasai berbagai ilmu yang berkembang pada masanya. Tatkala ia
berumur 18 tahun, ia dikirim di Athena ke akademia Plato. Di kota itu, ia belajar pada Plato.
Kecenderungan berfikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan filsafatnya
yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Pandangan filsafat
Aristoteles berorientasi pada hal-hal yang konkret.
Aristoteles memang filosof luar biasa. Didikan yang diperolehnya pada waktu
kecil, ketika ia mempelajari teknik pembedahan dalam dunia kedokteran dari ayahnya,
memengaruhi pandangan ilmiah dan pandangan filosofinya. Pengalaman bukanlah
pengetahuan yang berupa bayangan belaka. Menurut Aristoteles, alam idea bukan
sekedar bayangan, seperti yang diajarkan oleh Plato. Ia mengakui bahwa hakikat
segala sesuatu tidak terletak pada keadaan bendanya, melainkan pada pengertian
keberadaannya, yakni pada idea. Akan tetapi, idea itu tidak terlepas sama
sekali dari keadaan yang nyata. Aristoteles adalah murid Plato yang sangat
kritis. Kepada gurunya, Plato, ia menunjukkan bahwa ia sangat mencintai
kebenaran. Oleh karena itu, ia melakukan kritik yang tajam terhadap Plato yang
berpandangan bahwa hakikat segala sesuatu adalah idea yang terlepas dari
pengetahuan hasil indera. Selain idea hanya gambaran yang membatasi idea. Bagi
Aristoteles, idea dan pandangan manusia merupakan sumber segala yang ada.
Pandangan Plato bagi Aristoteles merupakan filosofi tentang adanya yang ada
dan adanya yang tidak ada. Aristoteles melengkapinya dengan pandangan bahwa
manusia berpotensi mengembangkan idea dan pengembangan tersebut dipengaruhi
oleh penglihatan, pengalaman, dan pengertian-pengertian, sehingga idea dan
realitas segala yang ada menyatu dalam suat terminologi filosofis.
Pandangannya lebih realis daripada pandangan Plato, yang didasarkan pada
yang abstrak. Ini akibat dari didikan pada waktu kecil, yang menghadapkannya
senantiasa pada kenyataan. Ia terlebih dahulu memandang kepada yang konkret,
yang nyata. Ia bermula dengan mengumpulkan fakta-fakta. Fakta-fakta itu
disusunnya menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suat sistem. Kemudian,
ditinjaunya persangkutpautan satu sama lain. Ia ingin menyelidiki sebab-sebab
yang bekerja dalam keadaan yang nyata dan menjadi keterangannya. Pendapat
ahli-ahli filosofi yang terdahulu dari dia diperhatikannya dengan kritis dan
diperbandingkannya. Dan barulah dikemukakan pendaptnya sendiri dengan alasan
dan pertimbangan rasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan, kalau
Aristoteles mempelajari lebih dahulu ilmu terapan dan ilmu pasti, bahkan ia menguasai
ilmu yang sifatnya khas bagi kaum ilmuwan spesialis. Baru setelah itu, ia
meningkat ke bidang filsafat, untuk memperoleh kesimpulan tentang yang umum.
Menurut Aristoteles, realitas yang objektif tidak saj tertangkap dengan
pengertian, tetapi juga bertepatan dengan dasar-dasar metafisika dan logika
yang tertinggi. Dasar itu ada tiga, yaitu : Pertama, semua yang benar harus
sesuai dengan adanya sendiri. Tidak mungkin ada kebenaran kalau di dalamnya ada
pertentangan. Ini terkenal sebagai hukum identika; Kedua, dari dua pertanyaan
tentang sesuatu,jika yang satu membenarkan dan yang lain menyalahkan, hanya
satu yang benar. Ini disebut hukum penyangkalan (kontradikta). Inilah menurut
Aristoteles yang terpenting dari segala prinsip; Ketiga, antara dua pernyataan
yang bertentangan mengiyakan dan meniadakan, tidak mungkin ada pernyataan yang
ketiga. Dasar ini disebut hukum penyingkiran yang ketiga.
Aristoteles berpendapat bahwa ketiga hukum itu tidak saja berlaku bagi
jalan pikiran, tetapi juga seluruh alam takluk kepadanya. Ini menunjukkan bahwa
dalam hal membanding dan menarik kesimpulan harus mengutamakan yang umum.
2. Francis Bacon (1210-1292 M)
2. Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuhan inderawi dan dunia fakta. Pengalaman
merupakan sumber pengetahuan sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan
induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh
metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Menurut Bacon, ilmu yang
benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian
diperkuat oleh sentuhan inderawi.
3. John Locke (1632-1704 M)
Ia adalah filosof Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Filsafat
Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang
diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan. Ia juga
menolak metode deduktif Descarte dan menggantinya dengan generalisasi
berdasarkan pengalaman atau disebut dengan induksi. Locke termasuk orang yang
mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui ajarannya. Bagi Locke,
mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan
seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke, pengalaman ada dua, yaitu :
pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah.
Ada dua hal dalam filsafat pengetahuan Locke yang mempunyai implikasi bagi
perkembangan kebudayaan modern. Pertama, anggapan bahwa seluruh pengetahuan
kita berasal dari pengalaman. Kedua, bahwa apa yang kita ketahui melalui
pengalaman itu bukanlah objek atau benda yang mau kita ketahui itu sendiri,
melainkan hanya kesan-kesannya pada pancaindera kita.
Locke menolak bahwa manusia mempunyai pengetahuan apriori. Apa saja yang
kita ketahui berasal dari pengalaman. Menurut Locke kita tidak melihat pohon
atau orang atau mendengar bunyi sangkakala, melainkan kita melihat kesan
inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yang kita lihat sebagai pohon.
Dan kita mendengar reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang
disebabkan oleh peniupan sangkakala. Implikasinya suat penciutan kemungkinan
manusia untuk memahami realitas objektif pada dirinya sendiri. Manusia
seakan-akan sibuk dengan kesan-kesanya sendiri. Dengan demikian paham realitas
objektif yang kita alami dan kita diami bersama, semakin menjadi tipis dan
kurus.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis, Franz., Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1992.
Suhendi, Hendi, Filsafat Umum dari Metologi
Sampai Teofilosofi, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008.