OLEH SUNARDI
PUSAT KURIKULUM BADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
2010
Rintisan
Pendidikan Luar Biasa pada Abad XVIII dan XIX
Abad XVIII ditandai dengan perluasan bentuk dan bidang pelayanan sosial
bagi penyandang cacat yaitu dari perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun
telah ada beberapa upaya mendidik penyandang cacat sejak abad XVI, pendidikan
formal bagi ALB baru muncul pertama kali pada abad XVIII (Irvine, 1988).
Berikut akandiuraikan perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis
kecacatan berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Irvine.
1.
Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu
Pada tahun 1555, seorang pendeta berkebangsaan Spanyol
bernama Pedro Ponce de Leon mencoba mengajar membaca, menulis, berbicara,
berhitung, dan menguasai sejumlah mata pelajaran akademik kepada sekelompok
anak tuli. Rintisan ini kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa buku
tentang pendidikan untuk anak tuli oleh Juan Pablo Bonet (Spanyol) pada tahun
1620, berisi tentang berbagai metode yang dikembangkan dari rintisan de Leon;
John Buwler (Inggris) pada tahun 1644; dan George Dalgarno (Inggris) pada tahun
1680 berjudul Didasopholus: The Deaf and Dumb Man's Tutor. Yang disebutkan
terakhir ini dianggap sebagai buku rintisan yang paling berpengaruh, berisi
garis besar metode pembelajaran yang sampai sekarang secara luas dipakai oleh
para pendidik, dengan penekanan bahwa penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas
belajar sama dengan anak yang dapat mendengar.
2.
Pendidikan bagi Anak Tuna Netra.
Sekolah bagi anak tuna netra yang pertama didirikan di
Perancis pada tahun 1784 oleh seorang dermawan Valentine Hauy. Sekolah ini juga
menerima murid yang awas, dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna
netra. Keberhasilan Hauy ini mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di
Eropa. Sekolah sejenis di Amerika Serikat didirikan pada tahun 1829 oleh Samuel
Gridley Howe, bernama the Perkins School for the Blind di kota Watertown
Massachusetts. Rintisan ini kemudian diikuti oleh 6 pendirian sekolah-sekolah
sejenis di berbagai negara bagian, dan sampai dengan akhir abad XIX, sekolah
berasrama merupakan satu-satunya sistem layanan pendidikan bagi anak tuna
netra. Perkembangan baru terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas-kelas
khusus bagi anak tuna netra di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun
1900. Satu hal penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidikan bagi
anak tuna netra adalah perkembangan sistem baca-tulis. Hauy mengembangkan
sistem huruf timbul untuk dibaca dengan menggunakan jari. Dengan sistem ini,
Hauy menerbitkan buku-buku bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul ternyata
sangat sulit untuk dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak
lahir yang menjadi salah seorang murid Hauy, yang kemudian mengembangkan sistem
bacatulis yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Sampai bertahun-tahun,
buku-buku braile harus ditulis dengan tangan. Adalah Frank H. Hall yang berjasa
mengembangkan mesin ketik huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan
dengan huruf braile pada tahun 1893.
3.
Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita
Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari upaya
seorang dokter berkebangasaan Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk
mendidik seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini terjadi
pada abad XVIII. Usaha Jean Marc Garpart Itard ini tidak sepenuhnya berhasil,
karena anak tersebut ternyata menyandang cacat mental. Metode yang dipakai
kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang
terbit pada tahun 1801. Metode tersebut sampai sekarang menjadi dasar
pembelajaran anak cacat mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh
muridnya yang bernama Edouard Sequin dan terbit dalam sebuah buku berjudul 7
Idiocy and Its Treadment by the Physiological Method pada tahun 1866. Beberapa
konsep penting yang diuraikan dalam kedua buku tersebut antara lain:
a.
pendidikan anak secara utuh,
b.
pembelajaran secara individual,
c.
pembelajaran dimulai sesuai dengan
tingkat kemampuan anak, dan
d.
hubungan dekat antara murid dan
guru.
Pada abad XX, konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut
oleh tokoh pendidik berkebangsaan Italia, Maria Montessori, yang menekankan
pada pelatihan semua syaraf / indera. Ovide Dcroly (Belgia) mengembangkan
kurikulum yang efektif bagi anak tuna grahita dan mendirikan sekolah yang
kemudian menjadi model di seluruh Eropa. Konsep yang berasal dari Itard dan
Sequin tersebut sekarang juga banyak diterapkan dalam sistem pembelajaran
modern.
4.
Pendidikan bagi Anak Tuna Laras
Penelusuran perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna
laras mungkin termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebab, antara lain:
a)
kurangnya ketepatan (precision)
dalam mengklasifikasi jenis kelainannya.
b)
kesulitan dalam mendiagnosis, dan
c)
kecenderungan menempatkan
anak-anak ini dengan jenis kecacatan lain.
Di Amerika Serikat, sekolah khusus bagi anak-anak ini
memang jarang ditemukan. Kategori gangguan emosi atau gangguan perilaku sendiri
baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun oleh ilmu kedokteran jiwa dianggap
sebagai bagian dari gangguan mental. Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum
mulai mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New Haven pada
tahun 1871 dan di New York pada tahun 1874.
Penelitian terhadap penyandang gangguan emosi tingkat
berat baru dimulai pada tahun 1930-an, dan pada awalnya sekolah menolak
tanggung jawab atas pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu
kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai
mengembangkan program intervensi bagi anak tuna laras berdasarkan hasil
diagnosa dan rekomendasi psikiatris.
5.
Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa
Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna laras,
layanan pendidikan khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah
satu sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan
layanan pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau
bantuan mobilitas. Namun demikian, ada 9 beberapa sekolah yang membuka kelas
khusus bagi anak tuna daksa, seperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence
pada tahun 1908, dan di Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah
khusus, sekolah-sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna
ganda yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak-anak
celebral palsy.
6.
Pendidikan bagi Anak Berbakat
Apabila dilihat dari pelayanan pendidikan yang tersedia,
sebenarnya golongan Anak Supernormal ini adalah yang paling tidak beruntung
karena potensi tinggi yang dimilikinya tidak dapat berkembang secara optimal.
Ini berarti pula bahwa kita telah menyianyiakan potensi-potensi unggul yang ada
pada manusia. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan Anak
Supernormal perlu kita menengok sejarahnya yang menunjukkan bahwa program
khusus bagi pelayanan Anak Supernormal di dunia telah dirintis sejak tahun 1867
yaitu dengan berbagai macam usaha, antara lain seperti terselenggaranya sekolah
dan kelas khusus, penelitian-penelitian, berdirinya lembaga yang bertujuan
mengembangkan pendidikan khusus bagi Anak Supernormal. Adapun proyek-proyek penelitian
yang pernah melakukan usaha pengembangan tersebut semenjak tahun 1967 - 1956
antara lain Elizabeth Plan (dari New Yersey), Cambridge Plan, Santa
Barbara Plan, "Preparatory School" Plan (di
Wercester), Detroit Plan, Stanford Plan (melakukan studi secara genetik di
California), Dalton Plan (mengadakan eksperimen di Sekolah Dasar), The Nivetka
Plan, Mass Instruction Plan, The Reguler Detroit Plan, Plan of Vertical
Organization, Ohio Plan (mengadakan riset terhadap SMA (High School) di Ohio
dan Studi khusus terhadap Anak-anak Gifted di SO New York dan
lain-lainnya.Sedang tokoh-tokoh ilmuwan yang menangani penelitian pada
proyek-proyek tersebut diantaranya adalah William T. Harris (telah mulai
melakukan penelitian sejak tahun 1867), Bruner (pada tahun 1918 meneliti
kelompok Anak Rapid (anak yang tergolong pandai dengan IQ :t 110 - 120) dan
kelompok. Anak Slowlearner (anak yang tergolong lamban belajar dengan IQ :t 75
- 85), H.J. Baker (pada tahun 1938 membuat Pilot Project bagi Anak Gifted di
SD), MR. Sumption (menghasiJkan penelitian
"Three Hundred Gifted Children"), Dr. Lewis M.
Terman (dengan hasil penelitiannya "Genetic Studies of Genius" by
Stanford University Press). dan tokoh-tokoh lainnya. Hasil penelitian MR
Sumption berkesimpulan bahwa Anak Gifted menunjukkan ciri-ciri:
·
Rasa kepribadiannya dapat
dikembangkan, demikian pula rasa pertanggungjawaban pada kelompok kepemimpinan.
·
Senang sekali menambah ilmu
pengetahuan.
·
Selalu berusaha
mengembangkan sikap pribadi dan self ekspresinya.
·
Cara berfikirnya sangat
kritis.
·
Banyak menggunakan waktu
luangnya untuk' membaca majalah-majalah fiktif, pengetahuan dan sebagainya.
·
Perkembangan intelek dan
kecakapannya tidak terganggu oleh tugas yang berat.
Sedangkan hasil penelitian Dr. Lewis M. Terman selama 24
tahun menunjukkan bahwa Anak Gifted dengan IQ 135 ke atas adalah sebagai
berikut:
·
Menunjukkan Superioritas
intelektual, menampakkan keistimewaan dalarh perangai dan menunjukkan
intelektualitas tingkah laku.
·
Dapat masuk Perguruan
Tinggi, 70% dapat selesai sampai lulus sedang yang tidak lulus disebabkan
karena sakit, kurang bimbingan, gangguan ekonomi dan sebagainya, bukan karena
mental / otaknya.
·
Umumnya dapat menduduki
jabatan yang tinggi. Hanya 4% yang menduduki jabatan rendah.
·
Penyesuaian Sosialnya baik.
Dari proyek-proyek yang telah dilaksanakan menunjukkan
sistem pendidikan untuk Anak Supernormal harus dibedakan berdasarkan tingkat
tingginya inteligensi anak yang terbagi atas 3 golongan yaitu:
·
Untuk golongan Superior
dengan IQ :t 110 – 125 memerlukan banyak modifikasi dalam program pendidikan.
·
Untuk golongan Gifted
dengan IQ :t 125 – 150 mungkin memerlukan suatu eksperimen yang disediakan
untuk mereka.
·
Untuk golongan Genius
dengan IQ :t 150 --.:... 200 memerlukan lebih banyak adaptasi yang imaginative
dan lebih jauh yang hendak dicapai dari pada kelompok lainnya. Selama ini,
dikenal beberapa macam sistem pendidikan yang tepat untuk Anak Supernormal
·
Pengayaan (Enrichment)
adalah pembinaan Anak Supernormal dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas
belajar tambahan yang bersifat vertikal (intensif, pendalaman) dan horisontal
(ekstensif, perluasan). Pengayaan diberikan kepada anak setelah yang
bersangkutan telah menyelesaikan tugas yang dibebankan untuk anak-anak
sekelasnya. Pengayaan dapat diberikan seperti tugas perpustakaan (library
skills), belajar bebas (independent study), riset, penelitian, studi-kasus dan
lain-lainnya.
·
Percepatan (Acceleration)
yaitu cara penanganan Anak Supernormal dengan memperbolehkan naik kelas secara
meloncat (Skipping) atau menyelesaikan program reguler di dalam jangka waktu
yang lebih singkat.
Kecuali Amerika Serikat, beberapa negara lain juga
mempunyai riwayat penanganan anak supernormal, antara lain Uni Sovyet, Israel,
Iran (dahulu pernah mencoba), sedang di Perancis pernah berusaha
memperjuangkannya tetapi belum berhasil. Kesulitan terutama karena jumlah
anak-anak seperti ini (Genius dan Gifted) relatif sedikit, penyelenggaraannya
tidak mudah, diperlukan kurikulum dan staf pengajar khusus pula.
0 komentar:
Posting Komentar