Pages

Minggu, 23 November 2014

KURIKULUM PENDIDIKAN LUAR BIASA DI INDONESIA DARI MASA KE MASA

OLEH SUNARDI
PUSAT KURIKULUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
2010
Rintisan Pendidikan Luar Biasa pada Abad XVIII dan XIX
Abad XVIII ditandai dengan perluasan bentuk dan bidang pelayanan sosial bagi penyandang cacat yaitu dari perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun telah ada beberapa upaya mendidik penyandang cacat sejak abad XVI, pendidikan formal bagi ALB baru muncul pertama kali pada abad XVIII (Irvine, 1988). Berikut akandiuraikan perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis kecacatan berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Irvine.
1.      Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu
Pada tahun 1555, seorang pendeta berkebangsaan Spanyol bernama Pedro Ponce de Leon mencoba mengajar membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan menguasai sejumlah mata pelajaran akademik kepada sekelompok anak tuli. Rintisan ini kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa buku tentang pendidikan untuk anak tuli oleh Juan Pablo Bonet (Spanyol) pada tahun 1620, berisi tentang berbagai metode yang dikembangkan dari rintisan de Leon; John Buwler (Inggris) pada tahun 1644; dan George Dalgarno (Inggris) pada tahun 1680 berjudul Didasopholus: The Deaf and Dumb Man's Tutor. Yang disebutkan terakhir ini dianggap sebagai buku rintisan yang paling berpengaruh, berisi garis besar metode pembelajaran yang sampai sekarang secara luas dipakai oleh para pendidik, dengan penekanan bahwa penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas belajar sama dengan anak yang dapat mendengar.
2.      Pendidikan bagi Anak Tuna Netra.
Sekolah bagi anak tuna netra yang pertama didirikan di Perancis pada tahun 1784 oleh seorang dermawan Valentine Hauy. Sekolah ini juga menerima murid yang awas, dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna netra. Keberhasilan Hauy ini mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di Eropa. Sekolah sejenis di Amerika Serikat didirikan pada tahun 1829 oleh Samuel Gridley Howe, bernama the Perkins School for the Blind di kota Watertown Massachusetts. Rintisan ini kemudian diikuti oleh 6 pendirian sekolah-sekolah sejenis di berbagai negara bagian, dan sampai dengan akhir abad XIX, sekolah berasrama merupakan satu-satunya sistem layanan pendidikan bagi anak tuna netra. Perkembangan baru terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas-kelas khusus bagi anak tuna netra di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun 1900. Satu hal penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak tuna netra adalah perkembangan sistem baca-tulis. Hauy mengembangkan sistem huruf timbul untuk dibaca dengan menggunakan jari. Dengan sistem ini, Hauy menerbitkan buku-buku bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul ternyata sangat sulit untuk dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak lahir yang menjadi salah seorang murid Hauy, yang kemudian mengembangkan sistem bacatulis yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Sampai bertahun-tahun, buku-buku braile harus ditulis dengan tangan. Adalah Frank H. Hall yang berjasa mengembangkan mesin ketik huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan dengan huruf braile pada tahun 1893.
3.      Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita
Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari upaya seorang dokter berkebangasaan Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk mendidik seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini terjadi pada abad XVIII. Usaha Jean Marc Garpart Itard ini tidak sepenuhnya berhasil, karena anak tersebut ternyata menyandang cacat mental. Metode yang dipakai kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang terbit pada tahun 1801. Metode tersebut sampai sekarang menjadi dasar pembelajaran anak cacat mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh muridnya yang bernama Edouard Sequin dan terbit dalam sebuah buku berjudul 7 Idiocy and Its Treadment by the Physiological Method pada tahun 1866. Beberapa konsep penting yang diuraikan dalam kedua buku tersebut antara lain:
a.       pendidikan anak secara utuh,
b.      pembelajaran secara individual,
c.       pembelajaran dimulai sesuai dengan tingkat kemampuan anak, dan
d.      hubungan dekat antara murid dan guru.
Pada abad XX, konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh pendidik berkebangsaan Italia, Maria Montessori, yang menekankan pada pelatihan semua syaraf / indera. Ovide Dcroly (Belgia) mengembangkan kurikulum yang efektif bagi anak tuna grahita dan mendirikan sekolah yang kemudian menjadi model di seluruh Eropa. Konsep yang berasal dari Itard dan Sequin tersebut sekarang juga banyak diterapkan dalam sistem pembelajaran modern.
4.      Pendidikan bagi Anak Tuna Laras
Penelusuran perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna laras mungkin termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebab, antara lain:
a)      kurangnya ketepatan (precision) dalam mengklasifikasi jenis kelainannya.
b)      kesulitan dalam mendiagnosis, dan
c)      kecenderungan menempatkan anak-anak ini dengan jenis kecacatan lain.
Di Amerika Serikat, sekolah khusus bagi anak-anak ini memang jarang ditemukan. Kategori gangguan emosi atau gangguan perilaku sendiri baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun oleh ilmu kedokteran jiwa dianggap sebagai bagian dari gangguan mental. Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum mulai mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New Haven pada tahun 1871 dan di New York pada tahun 1874.
Penelitian terhadap penyandang gangguan emosi tingkat berat baru dimulai pada tahun 1930-an, dan pada awalnya sekolah menolak tanggung jawab atas pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai mengembangkan program intervensi bagi anak tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.
5.      Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa
Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Namun demikian, ada 9 beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa, seperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence pada tahun 1908, dan di Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah khusus, sekolah-sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak-anak celebral palsy.
6.      Pendidikan bagi Anak Berbakat
Apabila dilihat dari pelayanan pendidikan yang tersedia, sebenarnya golongan Anak Supernormal ini adalah yang paling tidak beruntung karena potensi tinggi yang dimilikinya tidak dapat berkembang secara optimal. Ini berarti pula bahwa kita telah menyianyiakan potensi-potensi unggul yang ada pada manusia. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan Anak Supernormal perlu kita menengok sejarahnya yang menunjukkan bahwa program khusus bagi pelayanan Anak Supernormal di dunia telah dirintis sejak tahun 1867 yaitu dengan berbagai macam usaha, antara lain seperti terselenggaranya sekolah dan kelas khusus, penelitian-penelitian, berdirinya lembaga yang bertujuan mengembangkan pendidikan khusus bagi Anak Supernormal. Adapun proyek-proyek penelitian yang pernah melakukan usaha pengembangan tersebut semenjak tahun 1967 - 1956 antara lain Elizabeth Plan (dari New Yersey), Cambridge Plan, Santa
Barbara Plan, "Preparatory School" Plan (di Wercester), Detroit Plan, Stanford Plan (melakukan studi secara genetik di California), Dalton Plan (mengadakan eksperimen di Sekolah Dasar), The Nivetka Plan, Mass Instruction Plan, The Reguler Detroit Plan, Plan of Vertical Organization, Ohio Plan (mengadakan riset terhadap SMA (High School) di Ohio dan Studi khusus terhadap Anak-anak Gifted di SO New York dan lain-lainnya.Sedang tokoh-tokoh ilmuwan yang menangani penelitian pada proyek-proyek tersebut diantaranya adalah William T. Harris (telah mulai melakukan penelitian sejak tahun 1867), Bruner (pada tahun 1918 meneliti kelompok Anak Rapid (anak yang tergolong pandai dengan IQ :t 110 - 120) dan kelompok. Anak Slowlearner (anak yang tergolong lamban belajar dengan IQ :t 75 - 85), H.J. Baker (pada tahun 1938 membuat Pilot Project bagi Anak Gifted di SD), MR. Sumption (menghasiJkan penelitian
"Three Hundred Gifted Children"), Dr. Lewis M. Terman (dengan hasil penelitiannya "Genetic Studies of Genius" by Stanford University Press). dan tokoh-tokoh lainnya. Hasil penelitian MR Sumption berkesimpulan bahwa Anak Gifted menunjukkan ciri-ciri:
·         Rasa kepribadiannya dapat dikembangkan, demikian pula rasa pertanggungjawaban pada kelompok kepemimpinan.
·         Senang sekali menambah ilmu pengetahuan.
·         Selalu berusaha mengembangkan sikap pribadi dan self ekspresinya.
·         Cara berfikirnya sangat kritis.
·         Banyak menggunakan waktu luangnya untuk' membaca majalah-majalah fiktif, pengetahuan dan sebagainya.
·         Perkembangan intelek dan kecakapannya tidak terganggu oleh tugas yang berat.
Sedangkan hasil penelitian Dr. Lewis M. Terman selama 24 tahun menunjukkan bahwa Anak Gifted dengan IQ 135 ke atas adalah sebagai berikut:
·         Menunjukkan Superioritas intelektual, menampakkan keistimewaan dalarh perangai dan menunjukkan intelektualitas tingkah laku.
·         Dapat masuk Perguruan Tinggi, 70% dapat selesai sampai lulus sedang yang tidak lulus disebabkan karena sakit, kurang bimbingan, gangguan ekonomi dan sebagainya, bukan karena mental / otaknya.
·         Umumnya dapat menduduki jabatan yang tinggi. Hanya 4% yang menduduki jabatan rendah.
·         Penyesuaian Sosialnya baik.
Dari proyek-proyek yang telah dilaksanakan menunjukkan sistem pendidikan untuk Anak Supernormal harus dibedakan berdasarkan tingkat tingginya inteligensi anak yang terbagi atas 3 golongan yaitu:
·         Untuk golongan Superior dengan IQ :t 110 – 125 memerlukan banyak modifikasi dalam program pendidikan.
·         Untuk golongan Gifted dengan IQ :t 125 – 150 mungkin memerlukan suatu eksperimen yang disediakan untuk mereka.
·         Untuk golongan Genius dengan IQ :t 150 --.:... 200 memerlukan lebih banyak adaptasi yang imaginative dan lebih jauh yang hendak dicapai dari pada kelompok lainnya. Selama ini, dikenal beberapa macam sistem pendidikan yang tepat untuk Anak Supernormal
·         Pengayaan (Enrichment) adalah pembinaan Anak Supernormal dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan yang bersifat vertikal (intensif, pendalaman) dan horisontal (ekstensif, perluasan). Pengayaan diberikan kepada anak setelah yang bersangkutan telah menyelesaikan tugas yang dibebankan untuk anak-anak sekelasnya. Pengayaan dapat diberikan seperti tugas perpustakaan (library skills), belajar bebas (independent study), riset, penelitian, studi-kasus dan lain-lainnya.
·         Percepatan (Acceleration) yaitu cara penanganan Anak Supernormal dengan memperbolehkan naik kelas secara meloncat (Skipping) atau menyelesaikan program reguler di dalam jangka waktu yang lebih singkat.
Kecuali Amerika Serikat, beberapa negara lain juga mempunyai riwayat penanganan anak supernormal, antara lain Uni Sovyet, Israel, Iran (dahulu pernah mencoba), sedang di Perancis pernah berusaha memperjuangkannya tetapi belum berhasil. Kesulitan terutama karena jumlah anak-anak seperti ini (Genius dan Gifted) relatif sedikit, penyelenggaraannya tidak mudah, diperlukan kurikulum dan staf pengajar khusus pula.

0 komentar:

Posting Komentar